
WONOSOBO MENJADI KOTA TERMISKIN KE 3 SE JAWA TENGAH APA PENYEBABNYA?
Disusun Oleh : Ahmad Nursolih , Dani Dermawan, Sabrang Damar Bayu Al Azka , Muhammad Albar
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor penyebab kemiskinan di Kabupaten Wonosobo yang menempatkannya sebagai daerah dengan tingkat kemiskinan ketiga tertinggi di Provinsi Jawa Tengah. Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui studi kepustakaan (library research), dengan menganalisis data sekunder dari berbagai literatur, laporan statistik, dan dokumen kebijakan. Hasil kajian menunjukkan bahwa meskipun terdapat tren penurunan angka kemiskinan dari tahun ke tahun, Wonosobo masih menghadapi tantangan multidimensi. Empat faktor utama penyebab kemiskinan yang diidentifikasi adalah faktor individual, sosial, kultural, dan struktural. Faktor struktural menjadi faktor dominan yang menyebabkan terjadinya ketimpangan akses terhadap pendidikan, layanan dasar, dan peluang ekonomi. Salah satu indikator penting adalah rendahnya rata-rata lama sekolah (6,51 tahun) dan tingginya angka anak tidak sekolah (3.022 anak). Ketidakhadiran regulasi daerah yang spesifik, seperti Peraturan Bupati terkait pendidikan, turut memperparah situasi ini. Kajian ini merekomendasikan intervensi kebijakan yang menyeluruh, lintas sektor, dan berbasis data untuk meningkatkan kualitas pendidikan sebagai kunci utama dalam memutus rantai kemiskinan ekstrem di Wonosobo.
Kata Kunci: Kemiskinan, Wonosobo, Pendidikan
________________________________________________________________________
PENDAHULUAN
Kemiskinan masih menjadi persoalan global, terlebih bagi negara-negara berkembang. Pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama tujuan pertama disebutkan tentang mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk di manapun di dunia. Ini merupakan lanjutan dari tujuan Millenium Development Goals (MDGs) sebelumnya. Artinya, masalah kemiskinan masih dianggap sebagai permasalahan dunia, sehingga dipandang perlu untuk menjadikan penghapusan kemiskinan sebagai tujuan utama sekaligus sebagai jaminan keberlanjutan capaian MDGs.
Pengentasan kemiskinan masih menjadi fokus pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Berbagai program prioritas pembangunan dilakukan untuk menurunkan jumlah penduduk miskin. Kucuran anggaran triliunan rupiah digelontorkan dalam upaya memangkas tingkat kemiskinan hingga ke pelosok negeri.
Tak ayal, program pengentasan kemiskinan selalu menjadi jargon utama di setiap pesta demokrasi dari tingkat nasional hingga daerah. Selanjutnya, pengentasan kemiskinan itu selalu menjadi program prioritas dalam dokumen perencanaan pembangunan jangka panjang dan menengah dari pemerintah pusat hingga daerah.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020 Kabupaten Wonosobo menjadi Kabupaten termiskin di Jawa Tengah dengan presentasi penduduk miskin sebesar 20,32%, pada tahun 2021 tingkat kemiskinan mengalami penurunan menjadi 17,76%. Pada tahun 2022 presentase kemiskinannya adalah 16,17% dan pada tahun 2023 mengalami penurunan lagi yang membuat presentasenya menjadi 15,58%. Pada tahun 2024 angka kemiskinan di Wonosobo tercatat di angka 15,28%. Penurunan terus terjadi dari tahun ke tahun, penurunan ini terbilang cukup baik karena bisa mengentaskan Kabupaten Wonosobo dari predikat kabupaten termiskin di Jawa Tengah. Meskipun saat ini masih berada di posisi ke 3 terbawah se-Jawa Tengah.
Umur Harapan Hidup (UHH) di Kabupaten Wonosobo pada tahun 2024 tercatat sebesar 74,25 tahun, meningkat dari 72,05 tahun pada tahun 2023 . Peningkatan ini mencerminkan perbaikan signifikan dalam aspek kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan di daerah tersebut. Umur harapan hidup merupakan salah satu komponen utama dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang mencerminkan kualitas hidup masyarakat. Peningkatan UHH dapat menunjukkan perbaikan dalam pelayanan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, yang berkontribusi pada upaya pengentasan kemiskinan. Namun, meskipun UHH Wonosobo meningkat, IPM Kabupaten Wonosobo masih berada di peringkat keempat terbawah di Provinsi Jawa Tengah mencapai 70,18. . Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan UHH perlu diimbangi dengan perbaikan pada aspek lain seperti pendidikan dan pendapatan untuk secara efektif mengentaskan kemiskinan.
Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin di Wonosobo pada tahun 2024 sebesar 15,28%, mengalami penurunan sebesar 0,30 poin dari tahun sebelumnya yang sebesar 15,58% . Meskipun terdapat penurunan, angka tersebut masih tergolong tinggi dibandingkan dengan rata-rata provinsi Jawa Tengah. Selain itu, tingkat kemiskinan ekstrem di Wonosobo pada tahun yang sama tercatat sebesar 1,26% . Kondisi ini menempatkan Wonosobo dalam kategori daerah dengan tingkat kemiskinan yang memerlukan perhatian khusus. Faktor-faktor seperti rendahnya rata-rata lama sekolah, yang hanya mencapai 6,89 tahun, dan dominasi sektor pertanian dengan kontribusi rendah terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), turut berkontribusi terhadap tingginya angka kemiskinan di daerah ini .
Oleh karena itu, meskipun peningkatan UHH merupakan indikator positif, upaya pengentasan kemiskinan di Kabupaten Wonosobo memerlukan pendekatan yang lebih holistik. Pemerintah daerah perlu mengintegrasikan kebijakan yang tidak hanya fokus pada sektor kesehatan, tetapi juga mencakup peningkatan kualitas pendidikan, pengembangan sektor ekonomi produktif, dan perbaikan infrastruktur dasar. Kolaborasi lintas sektor dan pemanfaatan data yang akurat menjadi kunci dalam merancang intervensi yang efektif untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEMISKINAN
Ketidakmampuan seseorang secara ekonomi untuk memenuhi standar hidup ratarata masyarakat di suatu wilayah yang biasa dikenal kemiskinan. Hal tersebut bisa jadi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu rendahnya pendapatan masyarakat yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier serta kualitas sumber daya manusia yang rendah. Rendahnya pendapatan ini akan berdampak pula pada ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup rata-rata, seperti standar pengeluaran per kapita, standar kesehatan, dan standar pendidikan. (Rahman et al., 2022).
Secara umum kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar. Adapun pengertian kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS) adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Adapun untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memnuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Penyebab kemiskinan menurut Nasikun dalam jurnal (Suryawati, 2005), ada beberapa runtutan penyebab terjadinya kemiskinan diantaranya: a) Socio economi dualism, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh pola produksi kolonial biasanya dialami oleh negara-negara eks koloni. b) Population Growt, yaitu disebabkan oleh pertumbuhan penduduk tanpa diikuti dengan kualitas sumber daya manusia yang mumpuni. c) Natural Cycle and Processes, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh cuaca. Bisa dicontohkan saat musim hujan tiba dibeberapa daerah akan mengalami banjir, namun saat kemarau tiba di beberapa daerah akan mengalami kemarau yang menyebabkan kekeringan. d) Cultural and Etnic Factors, yaitu disebabkan oleh budaya dan etnik yang mempertahankan pola kemiskinan. Hal tersebut disebabkan karena jika terjadi pada petani contohnya saat musim panen raya, para petani akan mengonsumsi hasil panen yang berlebihan, dampaknya saat musim panen telah selesai para petani akan kekurangan bahan makanan hasil dari panen. (Suryawati, 2005).
Menurut Chambers dalam Nasikun (2001), kemiskinan dapat dibagi dalam empat bentuk, yaitu: Pertama, kemiskinan absolut: bila pendapatannya di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kedua, kemiskinan relatif: kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan. Ketiga, kemiskinan kultural: mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar. Keempat, kemiskinan struktural: situasi miskin yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi kerap menyebabkan suburnya kemiskinan.
Penyebab kemiskinan menurut Suharto (2005) yaitu: (a) Faktor Individual, terkait dengan aspek patologis, termasuk kondisi fisik dan psikologis individu yang miskin. Orang miskin disebabkan oleh perilaku, pilihan, atau kemampuan dari individu yang miskin itu sendiri dalam menghadapi kehidupan; (b) Faktor Sosial, kondisi-kondisi lingkungan sosial yang menjebak seseorang menjadi miskin. Misalnya, diskiriminasi berdasarkan usia, gender, etnis yang menyebabkan seseorang menjadi miskin. Termasuk dalam faktor ini adalah kondisi sosial dan ekonomi keluarga individu yang miskin yang biasanya menyebabkan kemiskinan antar generasi; (c) Faktor Kultural, Kondisi atau kualitas budaya yang menyebabkan kemiskinan. Faktor ini secara khusus sering menunjuk pada konsep kemiskinan kultural atau budaya kemiskinan yang menghubungkan budaya kemiskinan dengan kebiasaan hidup. Penelitian Oscar Lewis di Amerika Latin menemukan bahwa orang miskin memiliki sub-kultur atau kebiasaan tersendiri, yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan (Suharto, 2008).
Sikap-sikap “negatif” seperti malas, fatalisme atau menyerah pada nasib, tidak memiliki jiwa wirausaha, dan kurang menghormati etos kerja, misalnya, sering ditemukan pada orang-orang miskin; (d) Faktor Struktural, berkaitan dengan struktur atau sistem yang tidak adil, tidak sensitif dan tidak accessible sehingga menyebabkan seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin. Sebagai contoh, sistem ekonomi neolibiralisme yang diterapkan di Indonesia telah menyebabkan para petani, nelayan, dan pekerja sektor informal terjerat oleh, pajak dan iklim investasi lebih menguntungkan orang kaya dan pemodal asing untuk terus menumpuk kekayaan.
METODOLOGI PENELITIAN
Pada rancangan ini menggunakan jenis/pendekatan penelitian yang berupa Studi Kepustakaan (Library Research). Studi kepustakaan merupakan suatu studi yang digunakan dalam mengumpulkan informasi dan data dengan bantuan berbagai macam material yang ada di perpustakaan seperti dokumen, buku, majalah, kisah-kisah sejarah, dan lain sebagainya (Mardalis, 1999 dalam Mirzaqon, 2017).
Studi kepustakaan juga dapat mempelajari beberbagai buku referensi serta hasil penelitian sebelumnya yang sejenis yang berguna untuk mendapatkan landasan teori mengenai masalah yang akan diteliti (Sarwono, 2006 dalam Mirzaqon, 2017). Studi kepustakaan juga berarti teknik pengumpulan data dengan melakukan penelaahan terhadap buku, literatur, catatan, serta berbagai laporan yang berkaitan dengan masalah yang ingin dipecahkan (Nazir, 1988 dalam Mirzaqon, 2017). Sedangkan menurut ahli lain studi kepustakaan merupakan kajian teoritis, referensi serta literatur ilmiah lainnya yang berkaitan dengan budaya, nilai dan norma yang berkembang pada situasi sosial yang diteliti (Sugiyono, 2012 dalam Mirzaqon, 2017).
Penelitian ini merupakan jenis riset kepustakaan (library research). Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan atau library research. Maka sumber data bersifat kepustakaan atau berasal dari berbagai literatur, di antaranya buku, jurnal, surat kabar, dokumen pribadi dan lain sebagainya. Maka sumber data dalam penelitian ini dibedakan menjadi sumber primer yang merupakan sumber data pokok yang langsung dikumpulkan peneliti dari objek penelitian. Adapun sumber primer dalam penelitian ini adalah buku yang menjadi objek dalam penelitian ini. Sumber data sekunder yang memuat sumber data tambahan yang menurut peneliti menunjang data pokok. Adapun sumber sekunder pada penelitian ini adalah buku-buku lain yang mengkaji tentang konsep pendidikan berbasis pengalaman. Buku-buku yang masuk sebagai sumber sekunder dijadikan sebagai pendukung data primer.
Analisis data dalam penelitian dengan pendekatan kualitatif bersifat induktif, yaitu suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan pola hubungan tertentu atau menjadi hipotesis, selanjutnya dicarikan data lagi secara berulang-ulang hingga hipotesis diterima dan hipotesis tersebut berkembang menjadi teori.. Metode penelitian ini menggunakan deskriptif analitik yang merupakan metode dengan cara menguraikan sekaligus menganalisis. Dengan menggunakan kedua cara secara bersama-sama maka diharapkan objek dapat diberikan makna secara maksimal.
Penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara dokumentasi karena jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang sumber data empirik yang primer maupun sekunder berasal dari bukubuku, dokumen-dokumen, jurnal, atau literaturliteratur yang lain.
PEMBAHASAN
Wonosobo berasal dari dua kata yaitu Wono dan Sobo. Wono dalam bahasa Jawa berarti hutan, sedangkan Sobo berarti berkelana. Sedangkan dalam bahasa Sansekerta, Wono barasal dari kata Wanua yang berarti desa dan Sobo berasal dari kata Sabha yang berarti besar. Secara etimologi, Wonosobo adalah desa besar yang kedudukannya sebagai tempat pertemuan para raja dalam upacara pendarmaan. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, Wono atau Wana berarti hutan, sedangkan Saba atau Sobo artinya bepergian ke luar rumah/kerap kali mengunjungi (mendatangi).
Kabupaten Wonosobo merupakan salah satu dari 35 (tiga puluh lima) kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah dengan luas wilayah 98.468 Ha. Berjarak sekitar 120 km dari Semarang, ibukota Provinsi Jawa Tengah dan sekitar 520 km dari Jakarta, ibukota negara. Kabupaten Wonosobo terbagi dalam 15 Kecamatan, 236 desa dan 29 kelurahan. Secara astronomis Wonosobo terletak antara 7°.43'.13" dan 7°.04'.40" garis lintang selatan (LS) serta 109°.43'.19" dan 110°.04'.40" garis bujur timur (BT), pada 61 ketinggian 250 – 2.250 dari permukaan 36 laut. Oleh karena itu, Wonosobo berada di tengah wilayah Jawa Tengah, pada jalur utama yang menghubungkan Cilacap – Banjarnegara – Temanggung – Semarang dari Purwokerto – Yogyakarta lewat Secang Magelang. Karena letaknya di persimpangan jalur tersebut, Wonosobo merupakan jalur ekonomi dan jalur pariwisata di Jawa Tengah – DIY. Selain itu, karena berada di antara pusat – pusat pengembangan industri, yaitu Wonosobo, Surakarta, dan Cilacap, Wonosobo merupakan hinterland yang diterjemahkan sebagai potensi ekonomi yang dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi daerah dan kesejahteraan Masyarakat, (Nugroho, 2020).
Pekerjaan utama masyarakat di Kabupaten Wonosobo adalah sektor pertanian, yang menyumbang kontribusi terbesar dalam PDRB daerah tersebut. Selain pertanian, sektor pariwisata juga menjadi penunjang ekonomi masyarakat, terutama dengan potensi alam Wonosobo yang indah.
Sektor pertanian merupakan tulang punggung ekonomi Wonosobo. Pada tahun 2022, sektor ini menyumbang 29,6% dari PDRB Kabupaten Wonosobo, demikian laporan Dinas Kominfo Wonosobo. Produk pertanian utama di Wonosobo meliputi hasil perkebunan, seperti kopi, teh, dan cokelat, serta hasil pertanian lainnya seperti sayuran dan buah-buahan.
Wonosobo dikenal sebagai "Kota Seribu Gunung" dan "Negeri di Atas Awan" karena keindahan alamnya yang menakjubkan, seperti Dieng Plateau, Bukit Bintang, dan Pantai Selatan. Pariwisata menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat, baik secara langsung melalui berbagai usaha wisata, maupun tidak langsung melalui peningkatan aktivitas ekonomi di sekitar kawasan wisata.
Selain pertanian dan pariwisata, ada juga sektor lain yang memberikan kontribusi terhadap ekonomi masyarakat Wonosobo, seperti sektor industri dan perdagangan. Namun, sektor pertanian tetap menjadi yang paling dominan. Meskipun pemerintah Kabupaten Wonosobo telah mengambil berbagai disparitas ekonomi dalam menunjang PDRB dalam RPJPD nya namun hal ini belum memberikan Solusi yang segnifikan dalam mengatasi garis kemiskinan di kabupaten Wonosobo. Saat ini Wonosobo masih menjadi salah kabupaten termiskin di Provinsi Jawa Tengah. Artinya ada kebijakan yang kurangtepat sasaran dalam mehadapi tantangan ini.
Peneliti menggunakan Teori dari Chambers dalam Nasikun (2001), sebagai pendekatan untuk menganalisis apa faktor0faktor penyebab kemiskinan di kabupaten Wonosobo. Menurut Chambers dalam Nasikun (2001) terdapat 4 faktor penyebab kemiskinan yaitu:
- Faktor Individual,
Faktor Individual, terkait dengan aspek patologis (penyakit), termasuk kondisi fisik dan psikologis individu yang miskin. Orang miskin disebabkan oleh perilaku, pilihan, atau kemampuan dari individu yang miskin itu sendiri dalam menghadapi kehidupan.
Salah satu penyebab kemiskinan individual adalah orangorang yang memiliki kebutuhan khusus atau disabilitas, di Wonosobo sendiri dari data yang tersedia ada kurang lebih 3.893 disabilitas. (SIDesa Jawa Tengah), artinya secara prosentase ada 1 dari 100 orang ada yang menyandang disabilitas. Kemiskinan individu ini juga dipengaruhi oleh dampak media social yang rata-rata di alami oleh gen z hari ini, paparan media social membuat gen z cenderung terkena masalah pada Kesehatan mental yang menyebabkan gen z sulit untuk menentukan pilihan atau tujuan hidup, dan terlena pada kenyamanan individual, hal ini menyebabkan mereka terjebak pada mentalitas kemiskinan seperti tidak kreatif dan tidak produktif. Hal ini selaras dengan pendapat sari et all dalam jurnal ; sosial media yang hadir di tengah manusia hari ini tidak lepas dari nuansa dampak positif dan dampak negatif.
Kehadiran sosial media telah mengajarkan manusia untuk hidup lebih instan, bisa mendapatkan banyak informasi, pengetahuan dan keterampilan tanpa harus bersusah payah mengeluarkan keringat untuk satu Pencapaian (Aji, 2024). Hanya dengan beberapa ketika dibantu dengan alat elektronik sebagai media, maka manusia bisa mendapatkan banyak hal, Tren terbaru sebagai sekitar kehidupan dunia maya dan bahkan realitas, mendapatkan fenomena sosial terbaru, tutorial edukasi sampai dengan berbagai cara menghasilkan nilai ekonomis. Perlu diketahui, usia Gen Z di Kabupaten Wonosobo tidak tersedia secara spesifik dalam data yang tersedia. Namun, data yang ada menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki Gen Z di Wonosobo adalah 54.824 jiwa. Data ini merupakan bagian dari sensus penduduk 2020. Yang mana, Gen Z dengan rentang usia produktif kelahiran tahunn 1997 sampai dengan tahun 2012.
Dampak semacam ini jelas dikategorikan sejauh dampak positif yang bisa secara terang-terangan dirasakan. Akan tetapi, berbeda dengan dampak negatif yang muncul dari sosial media, yakni berupa lupa waktu, kecenderungan romantisme dengan dunia sosmed, gaya berpikir hiperealitas, fenomena Tren FOMO (Fear Of Missing Out) sosmed, anti sosial, gangguan mental, gangguan tidur, bahkan lebih buruknya bersikap individualisme. Dampak semacam ini tentu sudah terjadi, bahkan disaksikan hari ini dengan begitu jelas dan nyata (Sari et al, 2023). Artinya kecenderungan gen z bermain media social hari ini tidak bisa memberikan dampak dominan yang positif terhadap kemampuan survive gen z.
- Faktor Sosial,
Faktor Sosial, kondisi-kondisi lingkungan sosial yang menjebak seseorang menjadi miskin. Misalnya, diskiriminasi berdasarkan usia, gender, etnis yang menyebabkan seseorang menjadi miskin. Termasuk dalam faktor ini adalah kondisi sosial dan ekonomi keluarga individu yang miskin yang biasanya menyebabkan kemiskinan antar generasi; Melihat kemiskinan yang disebabkan dari factor social banyak kita temui dalam realitas kehidupan sehari-hari.
Perilaku diskriminasi yang terjadi dalam perekrutan tenaga kerja dalam suatu Perusahaan; sebagai contoh Perusahaan mengambil kriteria tertentu seperti tinggi badan, usia, kecantikan dan status sosial. Menurut Pierre Bourdieu dalam bukunya yang berjudul "Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste" tahun 1979 , menjelaslan hal tersebut merupakan bentuk dari kapital budaya seperti penampilan, cara bicara, gaya berpakaian, dan cara berperilaku menjadi modal yang dapat memengaruhi peluang seseorang dalam dunia kerja.
Ketika perusahaan lebih memilih kandidat berdasarkan "kecantikan" atau "kegagahan", mereka sebenarnya sedang memilih individu yang memiliki kapital budaya tertentu, bukan berdasarkan kompetensi atau kemampuan profesional.
Salah satu studi terkenal oleh Bertrand dan Mullainathan (2004) membuktikan bahwa nama yang diasosiasikan dengan kelompok ras tertentu dapat mempengaruhi panggilan wawancara kerja, meskipun kualifikasi sama. Di Indonesia, praktik diskriminasi serupa juga ditemukan, di mana iklan lowongan kerja sering memuat syarat terkait usia, jenis kelamin, dan penampilan fisik.
Hal ini menunjukkan bahwa dunia kerja masih belum sepenuhnya adil dan terbuka, karena lebih menekankan atribut personal yang superfisial ketimbang kompetensi, potensi, dan integritas pelamar kerja. Leonardo Olefins Hamonangan, Max Andrew Ohandi, dan Martin Maurer memperbaiki permohonan Perkara Nomor 124/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Menurut para Pemohonan, syarat aturan batas usia kerja menjadi salah satu indikator penyebab banyaknya pengangguran di Indonesia. Namun, permohonan tersebut ditolakoleh Mahkamah Konstitusi, artinya asas keadilan hukum dalam wilayah dunia kerja belum benar-benar di perhatikan. Diskriminasi di lingkungan kerja merupakan isu yang serius dalam konteks dunia kerja. Ketika para pekerja diperlakukan secara tidak adil karena berbagai faktor tertentu, hal tersebut dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi mereka dan bahkan memengaruhi perilaku dan tindakan mereka di tempat kerja (Mardi & Yuniarto, 2024).
- Faktor Kultural
Faktor Kultural, Kondisi atau kualitas budaya yang menyebabkan kemiskinan. Faktor ini secara khusus sering menunjuk pada konsep kemiskinan kultural atau budaya kemiskinan yang menghubungkan budaya kemiskinan dengan kebiasaan hidup.
Penelitian Oscar Lewis di Amerika Latin menemukan bahwa orang miskin memiliki sub-kultur atau kebiasaan tersendiri, yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan (Suharto, 2008). Sikapsikap “negatif” seperti malas, fatalisme atau menyerah pada nasib, tidak memiliki jiwa wirausaha, dan kurang menghormati etos kerja, misalnya, sering ditemukan pada orang-orang miskin.
Nilai-nilai seperti pasrah terhadap keadaan, kurangnya dorongan untuk maju, serta sikap hidup "yang penting hari ini cukup" menjadi ciri khas dari kemiskinan kultural. Berbeda dari kemiskinan struktural yang menyoroti ketimpangan sistemik, pendekatan kultural lebih menekankan pada aspek internal individu dan komunitas. Dalam realitas di lapangan, konsep ini dapat ditemukan secara nyata di beberapa wilayah di Indonesia. Misalnya, di sejumlah kawasan miskin perkotaan seperti kampung padat di Jakarta atau Surabaya, masih banyak keluarga yang tidak mendorong anak-anaknya untuk menempuh pendidikan tinggi. Orang tua lebih memilih anak membantu mencari nafkah sejak dini, karena dianggap lebih realistis dan sesuai dengan kondisi ekonomi keluarga.
Dalam jangka panjang, hal ini menyebabkan anak-anak mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang sama seperti orang tuanya. Contoh lain terlihat di pedesaan atau daerah terpencil seperti daerah 3T (Terluar, Tertinggal, dan Terdalam) di mana masyarakat cenderung menerima kemiskinan sebagai bagian dari takdir. Beberapa bahkan menolak bantuan pendidikan atau pelatihan karena merasa tidak ada manfaat langsung, atau karena sudah terbiasa hidup dalam kondisi seadanya.
Namun, penting untuk memahami bahwa kemiskinan kultural bukanlah semata-mata kesalahan individu atau komunitas. Budaya kemiskinan sering kali muncul sebagai bentuk adaptasi terhadap ketimpangan sistemik yang berkepanjangan. Seperti yang dikritik oleh Valentine (1968), pendekatan ini berisiko menyalahkan korban dan mengabaikan hambatan struktural seperti akses pendidikan yang tidak merata, kurangnya peluang kerja layak, atau minimnya kehadiran negara dalam pembangunan daerah.
Oleh karena itu, solusi terhadap kemiskinan tidak bisa hanya mengandalkan perubahan sikap masyarakat, tetapi juga harus disertai dengan intervensi kebijakan yang menyeluruh, seperti peningkatan akses pendidikan berkualitas, pelatihan keterampilan, dan pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas.
- Faktor Struktural
Faktor Struktural, berkaitan dengan struktur atau sistem yang tidak adil, tidak sensitif dan tidak accessible sehingga menyebabkan seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin. Sebagai contoh, sistem ekonomi neolibiralisme yang diterapkan di Indonesia telah menyebabkan para petani, nelayan, dan pekerja sektor informal terjerat oleh, pajak dan iklim investasi lebih menguntungkan orang kaya dan pemodal asing untuk terus menumpuk kekayaan.
Berdasarkan tiga factor yang sudah dibahas diatas, kemiskinan structural menjadi factor yang paling fundamental, mengapa demikian karena dalam factor structural lah,seluruh kebijakan dan system kemiskinan bisa ditata dan dikelolan ulang. Karena kemiskinan adalah kondisi sosial-ekonomi yang kompleks dan multidimensi.
Salah satu pendekatan utama dalam memahami kemiskinan adalah melalui perspektif struktural, yang menekankan bahwa kemiskinan tidak semata-mata disebabkan oleh kelemahan individu, tetapi oleh sistem sosial, ekonomi, dan politik yang tidak adil. Pendekatan ini berakar pada pemikiran bahwa struktur sosial memainkan peran dominan dalam menentukan distribusi sumber daya, akses terhadap peluang, dan posisi sosial seseorang dalam masyarakat. Secara teoritik, pendekatan struktural terhadap kemiskinan mengacu pada Teori Ketergantungan (Dependency Theory) yang dikembangkan oleh Andre Gunder Frank dan para pemikir dari tradisi neo-Marxis. Teori ini menjelaskan bahwa kemiskinan di negara-negara berkembang adalah hasil dari relasi historis yang eksploitatif dengan negara-negara maju, baik melalui kolonialisme maupun mekanisme ekonomi global saat ini.
Negara-negara miskin, dalam teori ini, dijebak dalam posisi ketergantungan ekonomi yang terus-menerus, sehingga tidak memiliki kedaulatan ekonomi yang memungkinkan pembangunan inklusif dan merata (Frank, 1967). Di tingkat nasional, kemiskinan struktural dijelaskan melalui kerangka struktur sosial internal seperti penguasaan sumber daya yang timpang, sistem hukum dan birokrasi yang bias kelas, serta akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan pekerjaan yang dikendalikan oleh elite.
Dalam pendekatan ini, kemiskinan bukan sekadar hasil dari malas bekerja atau kurangnya keterampilan, tetapi merupakan akibat dari sistem yang secara sistematis meminggirkan kelompok tertentu dari akses terhadap modal sosial dan ekonomi (Wright, 1997). Dalam konteks Indonesia, kemiskinan struktural tampak dalam sejumlah fenomena sosial-ekonomi. Pertama, ketimpangan penguasaan lahan adalah faktor krusial.
Menurut data KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) tahun 2022, lebih dari 60% lahan di Indonesia dikuasai oleh 1% populasi. Kondisi ini mengakibatkan ketimpangan akses terhadap sumber produksi, terutama bagi petani kecil dan masyarakat adat, yang kemudian memperparah kemiskinan di wilayah pedesaan.
Kedua, akses terhadap pendidikan berkualitas dan layanan kesehatan masih sangat dipengaruhi oleh kelas sosial dan lokasi geografis. Banyak data disetiap wilayah menunjukkan bahwa angka putus sekolah lebih tinggi di daerah tertinggal dan pada keluarga miskin, sementara Program Indonesia Pintar (PIP) yang ditujukan untuk mengatasi kesenjangan ini belum menyentuh akar persoalan seperti kualitas guru, infrastruktur, dan ketimpangan alokasi anggaran pendidikan. Ketiga, struktur pasar tenaga kerjadi Indonesia juga mencerminkan persoalan struktural.
Sebagian besar pekerja miskin bekerja di sektor informal, tanpa perlindungan jaminan sosial, upah layak, dan jenjang karier. Laporan ILO (2021) mencatat bahwa 58% angkatan kerja Indonesia berada dalam sektor informal yang rentan terhadap guncangan ekonomi, dan ini memperkuat siklus kemiskinan antargenerasi. Berbagai program penanggulangan kemiskinan seperti bantuan langsung tunai (BLT), PKH, dan bantuan sembako, meskipun memberikan dampak sementara, seringkali tidak menyasar akar struktural dari kemiskinan.
Studi oleh World Bank (2020) menunjukkan bahwa meskipun bantuan sosial meningkatkan konsumsi jangka pendek, namun tidak cukup untuk mengangkat masyarakat dari jerat kemiskinan jangka panjang, terutama bila tidak disertai reformasi struktural di bidang tanah, pendidikan, dan ketenagakerjaan.
Program seperti Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) misalnya, belum menyentuh persoalan monopoli lahan oleh korporasi besar. Di sektor pendidikan, sertifikasi guru dan dana BOS tidak selalu menjamin kualitas pembelajaran yang merata karena distribusi guru masih timpang secara wilayah. Tanpa reformasi struktural menyeluruh, kebijakan sektoral hanya akan bersifat tambal sulam.
________________________________________________________________________
Di kabupaten Wonosobo sendiri menurut data Kementerian Pendidikan pada tahun 2023 terdapat 3.301 anak tidak sekolah (ATS) di Kabupaten Wonosobo. BPS menunjukkan bahwa angka putus sekolah lebih tinggi di daerah tertinggal dan pada keluarga miskin, sementara Program Indonesia Pintar (PIP) yang ditujukan untuk mengatasi kesenjangan ini belum menyentuh akar persoalan seperti kualitas guru, infrastruktur, dan ketimpangan alokasi anggaran Pendidikan Pemkab kabupaten wonosobo tidak memberikan kebijakan secara spesifik dalam menghadapi berbagai permasalahan terkait Pendidikan yang masih sangat rendah.
Di kabupaten wonosobo terdapat 15 kecamatan, akan tetapi secara fasilitas akses Pendidikan belum terdistribusi Pembangunan belum menyeluruh disetiap kecamatan, masih ada 3 kecamatan yang belum memiliki SMA/SMK negeri diantaranya; Kejajar, Garung, Leksono. Artinya hal ini selaras dengan tingkat pendidikan di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, menunjukkan ratarata lama sekolah penduduk sekitar 6,51 tahun, yang berarti sebagian besar penduduk mengenyam pendidikan hingga kelas 1 SMP. Angka ini masih di bawah rata-rata nasional bahkan di Provinsi Jawa Tengah sendiri.
Pendidikan merupakan elemen krusial dalam pembangunan sumber daya manusia dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Tingginya partisipasi pendidikan berkorelasi positif dengan peningkatan kesejahteraan dan penurunan angka kemiskinan. Namun demikian, kondisi pendidikan di Kabupaten Wonosobo menunjukkan fakta yang memprihatinkan dan menjadi tantangan serius bagi pembangunan daerah. Selain itu, angka Anak Tidak Sekolah (ATS) juga cukup tinggi.
Berdasarkan laporan Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Wonosobo, pada tahun 2024 terdapat 3.022 anak yang tidak mengakses pendidikan formal Angka ini menandakan belum optimalnya pemerataan pendidikan di seluruh wilayah, khususnya di daerah-daerah terpencil. Dalam lingkup provinsi, Wonosobo menempati peringkat ke-33 dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah dalam hal pencapaian pendidikan, menempatkan daerah ini sebagai salah satu yang paling tertinggal dalam hal kualitas pendidikan. Hingga saat ini, Pemerintah Kabupaten Wonosobo belum menerbitkan Peraturan Bupati (Perbup) yang secara khusus mengatur dan mengarahkan solusi terhadap permasalahan pendidikan.
Beberapa program yang ada, seperti Sahabat Desa Berdaya dimana semua Perangkat Daerah akan menjadi mitra strategis di 23 desa prioritas, guna mengoptimalkan potensi desa dan menyelesaikan masalah yang ada. hal ini memang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan, tetapi belum secara eksplisit menargetkan peningkatan kualitas dan akses pendidikan. Ketiadaan regulasi yang fokus terhadap pendidikan menunjukkan belum adanya arah kebijakan strategis dan komprehensif dari pemerintah daerah dalam mengatasi rendahnya angka partisipasi sekolah.
Hal ini menjadi kontradiktif mengingat peran pendidikan sangat vital dalam memutus rantai kemiskinan antar generasi. Berdasarkan data dari Pemerintah Kabupaten Wonosobo, tingkat kemiskinan umum pada tahun 2024 berada di angka 15,28%, sementara kemiskinan ekstrem mencapai 1,26%. Studi oleh Setyowati dan Melati (2020) menegaskan bahwa rendahnya tingkat pendidikan di daerah pedesaan seperti Wonosobo berkontribusi secara signifikan terhadap tingginya tingkat kemiskinan. Pendidikan yang rendah menyebabkan keterbatasan dalam akses terhadap pekerjaan layak, serta rendahnya produktivitas tenaga Permasalahan pendidikan di Kabupaten Wonosobo, sebagaimana tergambar dari rendahnya rata-rata lama sekolah, tingginya angka anak tidak sekolah, dan belum adanya regulasi khusus dari pemerintah daerah, merupakan indikator lemahnya pondasi pembangunan sumber daya manusia.
Permasalahan ini secara langsung berkorelasi dengan tingginya tingkat kemiskinan, termasuk kemiskinan ekstrem. Oleh karena itu, sangat diperlukan langkah strategis dan regulatif berupa penerbitan Peraturan Bupati (Perbup) yang fokus pada peningkatan akses, kualitas, dan pemerataan pendidikan. Pemerintah daerah perlu mendorong program afirmatif seperti beasiswa bagi keluarga miskin, pembangunan dan rehabilitasi sarana pendidikan, serta pelibatan masyarakat dalam pengawasan pendidikan. Tanpa adanya intervensi yang serius dan sistematis dalam sektor pendidikan, upaya penurunan angka kemiskinan ekstrem di Kabupaten Wonosobo akan sulit mencapai target nasional.
PENUTUP
Untuk mengatasi permasalahan pendidikan di Kabupaten Wonosobo, diperlukan pendekatan multi-sektoral yang sistematis dan berbasis data. Pemerintah Daerah perlu segera merumuskan Peraturan Bupati (Perbup) yang secara khusus mengatur kebijakan strategis dalam sektor pendidikan, mulai dari pendataan anak tidak sekolah, penyediaan fasilitas pendidikan yang memadai di wilayah terpencil, hingga pemberian insentif bagi keluarga miskin agar anak-anak mereka dapat terus bersekolah.
Salah satu solusi konkret yang dapat diterapkan adalah optimalisasi program pendidikan non-formal dan pendidikan alternatif bagi anak-anak yang putus sekolah. Selain itu, perlu adanya peningkatan kerja sama lintas sektor, seperti dengan Dinas Sosial, Bappeda, serta lembaga swadaya masyarakat dan sektor swasta, dalam mendukung pendanaan dan pelaksanaan program pendidikan inklusif.
PEMDA juga perlu mengimplementasikan program beasiswa berbasis data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) yang terintegrasi dengan data ATS, agar bantuan pendidikan dapat tepat sasaran. Strategi lainnya adalah penguatan kapasitas guru melalui pelatihan berkala, serta peningkatan kualitas kurikulum lokal yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Di sisi pengawasan, partisipasi masyarakat perlu diberdayakan melalui forum-forum sekolah, komite pendidikan desa, dan pemantauan berbasis komunitas. Pemerintah Kabupaten juga dapat mengadopsi teknologi informasi dalam mengidentifikasi dan memantau progres pendidikan anak-anak, sehingga dapat diambil langkah cepat dalam kasus-kasus risiko putus sekolah.
Secara keseluruhan, pemecahan masalah pendidikan di Wonosobo membutuhkan komitmen politik yang kuat, alokasi anggaran yang memadai, serta pendekatan yang bersifat kolaboratif dan berkelanjutan. Tanpa langkah-langkah strategis tersebut, ketimpangan pendidikan akan terus menjadi hambatan dalam upaya pengentasan kemiskinan ekstrem di Kabupaten Wonosobo.
Kemiskinan ekstrem yang masih dihadapi oleh Kabupaten Wonosobo merupakan persoalan multidimensional yang tidak dapat dijelaskan hanya dari satu sisi semata. Dalam perspektif individual, rendahnya tingkat pendidikan berimplikasi langsung pada keterbatasan kompetensi dan keterampilan individu dalam memasuki pasar kerja yang kompetitif. Hal ini mengakibatkan rendahnya produktivitas dan pendapatan, serta memperbesar potensi kemiskinan berkelanjutan pada tingkat rumah tangga.
Dari sudut pandang sosial, ketimpangan akses terhadap layanan pendidikan, khususnya antara kawasan perdesaan dan perkotaan, menjadi faktor pendorong terjadinya eksklusi pendidikan. Kondisi sosial keluarga miskin yang cenderung memprioritaskan kerja anak di atas pendidikan turut memperparah angka anak tidak sekolah (ATS), dan pada akhirnya menghambat mobilitas sosial vertikal.
Dalam dimensi kultural, masih terdapat sistem nilai dan pandangan yang Kajian PC PMII Wonosobo 18 belum menganggap pendidikan sebagai instrumen utama peningkatan kesejahteraan. Pandangan ini tercermin dari praktik-praktik seperti pernikahan dini, rendahnya kesadaran akan pentingnya sekolah, dan anggapan bahwa pendidikan tinggi tidak sejalan dengan realitas ekonomi keluarga. Nilai-nilai kultural semacam ini menjadi hambatan laten yang perlu ditransformasikan secara gradual melalui pendekatan sosial dan kultural berbasis komunitas.
Sementara itu, dari aspek struktural, lemahnya kebijakan dan regulasi daerah terkait pendidikan menjadi faktor dominan dalam ketidakefektifan penanganan masalah pendidikan. Ketiadaan Peraturan Bupati (Perbup) yang secara spesifik mengatur strategi peningkatan akses dan kualitas pendidikan mencerminkan kurangnya perhatian struktural terhadap sektor pendidikan sebagai pilar pembangunan manusia. Alokasi anggaran yang tidak proporsional, kurangnya intervensi afirmatif terhadap kelompok rentan, serta terbatasnya sinergi antar perangkat daerah menunjukkan lemahnya tata kelola pendidikan daerah secara sistemik.
Berdasarkan analisis dari keempat perspektif tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan determinan fundamental dalam memutus rantai kemiskinan ekstrem di Kabupaten Wonosobo. Oleh karena itu, upaya pengentasan kemiskinan harus disertai dengan intervensi pendidikan yang komprehensif, terarah, dan berbasis pada pendekatan lintas sektor serta sensitif terhadap dimensi sosial dan budaya lokal. Pendidikan tidak hanya berperan sebagai alat reproduksi pengetahuan, tetapi juga sebagai sarana mobilitas ekonomi dan sosial yang berkelanjutan.
REFERENSI
Adawitah Sa’diyah El, KEMISKINAN DAN FAKOR-FAKTOR PENYEBABNYA, , Journal of Social Work and Social Service e-ISSN: 2721-6918, Volume 1 Nomor 1, April 2020.
Smeru. 2001. Paket Informasi Dasar: Penanggulangan Kemiskinan. Disusun Untuk Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (BKPK). Agustus, 2001. Jakarta.
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). 2021. Modul Literasi Kemiskinan Ekstrem, Unit Sistim Informasi dan Pengelolaan Data. Jakarta.
United Nations. 1995. Report of The World Summit for Social Development. Copenhagen. Diakses Pada 11 Maret 2022. Https://Digitallibrary.Un.Org/ Record/ 198966?Ln=En.
Wijono, Wirjo Wiloejo, 2005. Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Edisi Khusus. Jakarta.
Wooldridge, J. M. 2016. Introductory Econometrics, A Modern Approach. CENGAGE Learning.
World Bank. 1990. World Development Report 1990: Poverty. Oxford University Press/World Bank, New York. Https://Openknowledge.Worldbank. Org/ Handle /10986/5973.
Databoks Katadata, 2023 (https://databoks.katadata.co.id/layan an-konsumenkesehatan/statistik/6bb474685d90fb9 /ratarata-lama-sekolah-di-kabupatenwonosobo-masih-di-bawah-rataratanasional)).
WonosoboZone,2023,(https://www.wonosob ozone.com/pendidikan/46712579674 /angka-anak-tidak-sekolah-diwonosobo-masih-tinggi-bupatitekankan-langkah-kolaboratif-atasiats)).
Gatra, 2023(https://www.gatra.com/news537184-Regional-kemiskinantertinggi-kedua-di-jateng-pemkabwonosobo-inisiasi-gerimismesra.html)).
Diskominfo Wonosobo, 2024(https://diskominfo.wonosoboka b.go.id/detail/angka-kemiskinanwonosobo-terus-menurun)).
Setyowati & Melati, JEEA UNNES, 2020](https://journal.unnes.ac.id/sju/ eeaj/article/view/42413)).
Frank, A. G. (1967). Capitalism and Underdevelopment in Latin America. Monthly Review Press. Wright, E. O. (1997).
Badan Pusat Statistik (BPS). (2023).
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). (2022).
World Bank. (2020). Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class. International Labour Organization (ILO). (2021). https://www.mkri.id/index.php?page=web.B erita&id=21677&menu=2
JDIH Kabupaten Wonosobo, PERATURAN BUPATI WONOSOBO NOMOR 21 TAHUN 2023, PERBUP Kab. Wonosobo No. 21 Tahun 2023 https://jdih.wonosobokab.go.id/assets/upload s/ProdukHukum/10.%20RENCANA%20PEM BANGUNAN%20JANGKA%20PA NJANG%20DAERAH.pdf
PERDA Kab. Wonosobo No. 8 Tahun 2021.PDF https://wonosobokab.bps.go.id/id/pressreleas e/2023/12/04/265/indekspembangunan-manusia--ipm-- kabupaten-wonosobo-2023.html
https://wonosobokab.bps.go.id/id/statisticstable/2/MTEzIzI=/angka-partisipasikasar--apk-.html https://banyumas.tribunnews.com/2023/05/1 6/kabar-bagus-3301-anak-tidaksekolah-di-wonosobo-bisa-kembalibersekolah-melalui-mayo-sekolah
https://diskominfo.wonosobokab.go.id/detail /mayo-sekolah-wujudkan-276-anakkembali-sekolah
https://www.wonosobozone.com/pendidikan /46713219308/angka-putus-sekolahdi-wonosobo-tinggi-wef-dankamadiksi-kip-k-adakan-publichearing
https://www.antaranews.com/berita/2445721 /27181-anak-di-wonosobo-jatengterkategori-belum-dan-tidak-sekolah
https://jatengprov.go.id/beritadaerah/persent ase-penurunan-angka-kemiskinan-diwonosobo-tertinggi-se-jawa-tengah/
https://wonosobokab.bps.go.id/id/statisticstable/2/MTA4IzI=/angkakemiskinan.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Wonosobo,_W onosobo