
Tragedi Kesadaran di Era Digital
Nietzsche pernah mengatakan bahwa "Tuhan telah mati," sebuah metafora untuk menggambarkan runtuhnya nilai-nilai lama di tangan modernitas. Namun, di era digital ini, Apakah yang sebenarnya telah mati adalah kesadaran kita sendiri, dibunuh oleh algoritma yang lebih mengenal kita dibandingkan diri kita sendiri?
Media sosial, dengan sistem algoritmanya, telah menggantikan peran filsafat dalam membentuk manusia modern. Ia bukan hanya alat komunikasi, tetapi sebuah konstruksi realitas baru yang mendikte cara kita memahami dunia. Setiap klik, setiap gulir, setiap reaksi emosional yang kita berikan bukan lagi sekadar ekspresi individual, melainkan data yang digunakan untuk membentuk ulang persepsi kita tentang kebenaran, keindahan, dan bahkan diri kita sendiri.
Jika di masa lalu kuasa datang dari institusi agama, negara, atau kapitalisme klasik, hari ini ia beroperasi secara lebih subtil melalui kode-kode tak terlihat yang menentukan apa yang kita lihat dan apa yang kita pikirkan. Algoritma tidak memiliki wajah, tidak memiliki ideologi yang eksplisit, namun ia memiliki kehendak. Kehendak untuk mempertahankan keterlibatan kita, untuk mengunci kita dalam ruang gema (echo chamber), dan untuk memastikan bahwa kita tetap menjadi bagian dari ekosistem digital yang terus menghisap waktu dan atensi kita. Di berbagai negara, algoritma media sosial secara tidak langsung memperdalam polarisasi politik. Konten yang menimbulkan emosi kuat, seperti kemarahan atau ketakutan memiliki engagement yang lebih tinggi.
Menyadari Diri dalam Dunia yang Terprogram.
Kita sering berpikir bahwa kita adalah entitas yang rasional, yang memilih sendiri informasi yang kita konsumsi. Namun, sejauh mana kita benar-benar memilih? Bukankah pilihan kita telah dibentuk oleh pola-pola konten yang secara sistematis disajikan kepada kita? Seperti seorang aktor yang tidak menyadari dirinya hanyalah bagian dari sebuah skenario besar, kita hidup dalam sebuah panggung yang telah diatur tanpa kita sadari.
Di era ini, standar hidup tidak lagi ditentukan oleh pengalaman riil, tetapi oleh bagaimana kehidupan kita direpresentasikan di dunia digital. Estetika Instagram menentukan apa yang dianggap sebagai "hidup yang sukses." Video viral di TikTok menentukan apa yang "menarik." Politik di Twitter bukan lagi soal realitas sosial, tetapi soal siapa yang paling fasih dalam merangkai narasi.
Di era digital, standar hidup tidak lagi ditentukan oleh pengalaman riil, tetapi oleh bagaimana kehidupan direpresentasikan dalam dunia maya. Media sosial mengonstruksi citra kesuksesan yang terdistorsi, membuat orang berlomba-lomba mengejar validasi digital.
Fenomena ‘Rich Kids of Instagram’ dan Hustle Culture. Banyak influencer memamerkan gaya hidup mewah, dari liburan di Maladewa hingga koleksi barang bermerek. Padahal, tidak sedikit dari mereka yang hanya menyewa barang mahal demi citra. Kemudian Tren ‘grindset’ di TikTok menekankan kerja tanpa henti sebagai standar keberhasilan. Slogan seperti "No days off" atau "Sleep is for the weak" menjadi mantra, membuat banyak anak muda merasa bersalah jika tidak produktif setiap saat.
Banyak orang mengalami kecemasan dan depresi karena merasa kehidupan mereka tidak cukup ‘berhasil’ dibandingkan dengan yang mereka lihat di media sosial.
Misalnya, saat terjadi konflik geopolitik, banyak anak muda membentuk opini hanya berdasarkan video 30 detik yang muncul di FYP mereka, tanpa mendalami konteks sejarah atau perspektif lain.
Dampaknya? Kita kehilangan keaslian diri. Kita bukan lagi subjek yang menentukan nilai-nilai kita sendiri, tetapi objek yang dikondisikan oleh sistem yang hanya peduli pada satu hal: engagement. Kita mengejar standar hidup yang tidak pernah kita tentukan sendiri, tetapi telah dirancang untuk membuat kita terus merasa kurang, terus membandingkan, terus berusaha memenuhi ekspektasi yang tidak pernah bisa dipenuhi.
Algoritma memperkuat narasi tertentu dan menyembunyikan sudut pandang lain, sehingga orang percaya bahwa apa yang mereka lihat adalah kebenaran mutlak. Sehingga masyarakat menjadi reaktif dan mudah terprovokasi, alih-alih mengembangkan pemikiran kritis berbasis data dan argumen yang mendalam.
Nietzsche mengajarkan bahwa manusia harus melampaui dirinya sendiri, menjadi Übermensch—seseorang yang berani menciptakan nilai-nilainya sendiri, di luar dogma dan struktur sosial yang membelenggu. Jika kita ingin merebut kembali kesadaran kita dari cengkeraman algoritma, kita harus melakukan hal yang sama.
Sapere Aude!
Sapere Aude,yang berarti "Beranilah untuk berpikir sendiri". Ungkapan ini dipopulerkan oleh filsuf Jerman Immanuel Kant dalam esainya "What is Enlightenment?" (1784). Kant menggunakannya untuk menggambarkan semangat pencerahan, yaitu keberanian manusia untuk keluar dari ketidaktahuan dan ketergantungan pada otoritas eksternal.
Kita harus berani mempertanyakan, "Apakah ini benar-benar pemikiran saya, atau hanya hasil dari manipulasi algoritma?" Kita harus melawan determinisme digital dengan kesadaran kritis, dengan memilih secara sadar informasi yang kita konsumsi, dengan keluar dari lingkaran distraksi yang membuat kita kehilangan makna dalam hidup kita sendiri.
Karena pada akhirnya, di dunia yang dikendalikan oleh algoritma, satu-satunya bentuk kebebasan yang tersisa adalah keberanian untuk berpikir sendiri.
Di era algoritma, kita menghadapi tantangan terbesar dalam sejarah manusia: mempertahankan kesadaran dan kebebasan berpikir di tengah sistem yang dirancang untuk mengontrol atensi dan emosi kita. Jika kita tidak hati-hati, kita bukan hanya kehilangan waktu atau data pribadi, tetapi juga kehilangan sesuatu yang lebih fundamental: diri kita sendiri.